Imperialisme Kebudayaan dan Nasib Lokalitas Kita

(sebuah pengantar untuk gerakan kebangkitan kebudayaan lokal)*

nyiur

~ KAJIAN ~

Oleh Denni Pinontoan

Diskusi kita seputar “Imperialisme Kebudayaan” mestinya tidak sampai hanya pada pembahasan secara teoritik mengenai pokok ini. Akan jauh berguna, jika dilanjutkan juga dengan semacam gagasan-gagasan “perlawanan” terhadap bahaya-bahaya imperialisme kebudayaan itu. Dengan demikian, nantinya diskusi ini akan berkisar di soal mengenal imperialisme kebudayaan itu, termasuk siapa imperialis dan siapa yang menjadi korban, bagaimana metode dan dampak-dampak dari imperialisme kebudayaan itu. Terakhir, kita akan masuk pada semacam gagasan-gagasan umum (yang masih kasar) bagaimana membangun gerakan perlawanan.  imperAPA DAN BAGAIMANA IMPERIALISME KEBUDAYAAN ITU?

Pengertian Imperialisme dan Kebudayaan

Kata “Imperialisme” diambil dari kata Inggris, empire, yang berarti “kekaisaran,” atau “kerajaan”. Asal katanya dari bahasa Latin imperium, yang secara harafiah diartikan: “aturan, perintah.” Dalam bentuk terma imperialisme (Inggris: imperialism), pada awalnya diartikan sebagai sesuatu yang , “…berkaitan dengan kepentingan nasional atau penyebaran manfaat dari peradaban Barat.” Secara umum juga diartikan, ”aturan satu negara atas yang lain.”[1] Pertama-tama berkenaan dengan politik, yaitu kolonialisme, tapi kemudian meluas menunjuk pada dominasi atau hegemoni kebudayaan dari suatu peradaban, kekaisaran, negara atau kebudayaan kepada yang lain.

Imperialisme dipahami sebagai sebuah usaha mendominasi, menghegemoni atau dalam bentuknya yang paling ekstrim adalah menghancurkan sebuah peradaban untuk tujuan-tujuan dan kepentingan-kepentingan si imperialis dan juga imperium, kerajaan atau kekuasaanya.

Sementara pengertian “kebudayaan” sangat beragam. Pada kesempatan ini saya mengutip definisi Bikhu Parekh. Ia mengartikan “kebudayaan” sebagai “sebuah sistem arti dan makna yang tercipta secara historis atau, apa yang menuju pada hal-hal yang sama, sebuah sistem keyakinan dan praktek di mana satu kelompok manusia memahami mengatur dan menstrukturkan kehidupan individual dan kolektif mereka.[2] Dalam pemahaman Parekh ini, kita mendapati bahwa, ada korelasi yang sangat kuat antara keyakinan, pandangan, makna dan arti dalam praktek atau struktur-struktur yang terbentuk kemudian. Artinya, dengan adanya refleksi atau kontemplasi mendalam atas kenyataan hidup dan sumber-sumber daya yang bersama dengan manusia, itu kemudian mewujud sebagai makna dan arti yang mengambil bentuk dalam tindakan dan praktek.

Jadinya, menurut saya “kebudayaan” itu menunjuk pada arti, makna dan praktek hidup yang diperoleh manusia dari refleksi dan kontemplasi dalam usahanya menjawab tantangan dan persoalan hidup individu dan komunitasnya. Mungkin juga bisa diperluas, bahwa kebudayaan itu meliputi hampir semua dimensi kehidupan manusia, sistem dan praktek politik, ekonomi, sosial, agama, ilmu pengetahuan, teknologi yang didasari oleh arti dan makna.

Tentang Imperialisme Kebudayaan

Dalam sejarahnya, terutama setelah Perang Dunia ke-II, teori tentang “imperialisme kebudayaan” disebutkan dalam berapa istilah, yaitu: “neo-kolonialisme,” “soft imperialism,” dan “imperialisme ekonomi.” Menyusul berapa label lainnya, seperti, “imperialisme media, “” imperialisme struktural, “ketergantungan budaya dan sinkronisasi,” “kolonialisme elektronik,” “imperialisme ideologis,” dan “imperialisme komunikasi.”[3] Pada tahun 1976 Herbert Schiller merumuskan apa yang disebut dengan “imperialisme kebudayaan,” yaitu sebagai fenomena di mana perusahaan multinasional besar, termasuk media dari negara-negara maju mendominasi negara-negara berkembang. Definisi Schiller juga menunjuk pada praktek dominasi dan pemaksanaan budaya dan cara hidup dari satu budaya terhadap yang lain.[4]

Schiller memang hanya fokus pada imperialisme (ke)budaya(an) melalui komunikasi dalam hal ini dominasi media Amerika. Bagi Schiller, “imperialisme budaya media adalah bagian dari sistem umum imperialisme. Teori-teori imperialisme kebudayaan yang lain sudah meluas dengan juga menjelaskan fenomena di bidang hubungan internasional, pendidikan, ilmu pengetahuan, sejarah, sastra, dan olahraga.

Dalam diskusi kita kali ini, yang dimaksudkan dengan imperialisme kebudayaan tidak hanya menunjuk pada dominasi Amerika, melainkan juga Eropa (Barat) yang sudah dimulai pada masa-masa kolonialisme abad 16 termasuk kebudayaan lain.

Dengan demikian, untuk sementara, baiklah kita mendefinisikan “imperialisme kebudayaan” sebagai praktek di bidang politik, ekonomi, ideologi, ilmu pengetahuan, teknologi, termasuk teknologi media dari kebudayaan, “imperium,” dan kekuasaan tertentu (lain) yang merasa paling hebat, sempurna dan maju terhadap kebudayaan lain untuk tujuan-tujuan penguasaan dan penaklukan kebudayaan (yang kompleks itu) demi keuntungan-keuntungan ekonomis dan politis.

 Siapa Imperialis itu dan Siapa yang Menjadi Korban

Sistem dan cara kerja imperialisme menggunakan pendekatan dikotomis, subjek dan objek. Subjek adalah pihak imperialis dan objeknya adalah korban dari imperialisme itu. Dalam diskursus tentang imperialisme kebudayaan, subjek impersialis pertama-tama menunjuk pada bangsa-bangsa Barat.

Tissa Balasurya mengatakan dalam bukunya Planetary Theology (1984), “keinginan untuk menguasai alam dan orang telah menjadi sifat khas manusia sepanjang sejarah, kendati beberapa bangsa melakukannya lebih dari pada yang lain.”[5] Dalam catatan sejarah, peradaban Eropa modern ditandai dengan munculnya negara-negara bangsa yang menyatukan kekuasaan-kekuasaan lokal yang beragam. Modernisasi, termasuk perkembangan teknologi perang, menurut Balasurya, merupakan sebab utama perkembangan tersebut. Pada abad 15 dan 16 di Eropa muncul negara-negara nasional di bawah pemerintahan raja-raja absolut. Sumber hukum moral, bagi imperium Romawi, misalnya adalah alkitab.[6]

Singkatnya, kemunculan negara-negara bangsa (negara modern) di Eropa menjadi cikal bakal dari ekspansi, pencarian  “dunia baru”, kolonialisme dan imperialisme. Ini juga berkaitan dengan modernisasi ekonomi di negara-negara bangsa tersebut, misalnya Spanyol dan Portugis. Menyusul kemudian yang menjadi negara/imperium yang kolonial adalah Belanda dan Inggris serta beberapa negara eropa lainnya. Maka, dimulai era kolonialisme bangsa-bangsa Eropa. Ke mana mereka pergi menjajah? Mereka datang ke peradaban kita, Timur, termasuk nusantara. Zaman ini juga ditandai dengan kelahiran kapitalisme awal.

Menurut Balasurya, akar tatanan dunia sekarang adalah hasil ekspansi teritorial dan ekonomi dri bangsa-bangsa Barat ke belahan-belahan bumi lainnya. Lebih dari lima ratus tahun lalu itu, bagi Barat adalah zaman ekspansi dan pertumbuhan. Sebaliknya, bagi bangsa-bangsa yang dijajah, zaman itu adalah zaman kekalahan, kehancuran, kolonialisasi, eksploitasi, dan marginalisasi dalam beragam bentuk.

Kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat kepada bangsa Timur berjalan bersamaan dengan Misi Kristen.  Pemahaman teologis gereja bahwa agama Kristen sebagai satu-satunya wadah keselamatan dunia seolah-olah melegitimasi bangsa Barat untuk menjajah dan mengeksploitasi bangsa Timur sampai kira-kira pertengahan abad 20. Penjajahan oleh Bangsa Barat ini berjalan bersamaan dengan kapitalisme, yang antara lain dimungkinkan dengan menguatnya rasionalisme, dan pola pikir subjek-objek di abad pencerahan. Bangsa Timur akhirnya menjadi objek selama berabad-abad untuk dieksploitasi tenaga manusia dan sumber daya alamnya. Selama ini, misi Kristen terus menjadi semangat bagi usaha penaklukan itu. David Bosch berkata: ”Dengan datangnya puncak era imprealisme, setelah 1880, tidak dapat lagi keraguan mengenai persekongkolan lembaga-lembaga misi dan usaha kolonial. Kesejajaran antara perkembangan-perkembangan puncak imprealisme dan puncak misi menjadi semakin jelas tampak.”[7]

Pasca Perang Dunia II, adalah era bagi Amerika Serikat dalam penguasaan dunia. Itu ditandai dengan kemenangan Amerika dan sekutunya pada perang yang memakan korban yang banyak itu. Meskipun negara-negara jajahan telah berhasil merdeka, namun imperialisme masih tetap berlanjut, hingga kini.

Dalam bentuknya yang baru, kolonialisme dan imprealisme kemudian tampil dalam wajah (neo)kapitalisme[8] dan neoliberalisme[9]. Kapitalisme dan neoliberalisme yang antara lain dimungkinkan oleh globalisasi yang digalakkan oleh Amerika mau tidak mau harus dipertimbangkan sebagai faktor penting penyebab persoalan tersebut. Mansour Fakih sangat fasih mengulas “monster” kapitalisme dan neoliberalisme sebagai penyebab sejumlah persoalan di masyarakat Dunia Ketiga.[10]

Fakih menjelaskan, globalisasi[11] sebagai pengganti pembangunan[12] (yang telah gagal itu), ditandai lewat mendunianya sistem pasar, investasi dan produksi perusahaan-perusahaan transnasional (TNCs). Ketiga aktor utama globalisasi menurut Fakih adalah World Trade Organization (WTO), IMF (International Monetary Fund) dan World Bank. Dua lembaga keuangan terakhir tersebut adalah lembaga-lembaga pemberi utang di dunia ketiga, yang  sangat dipengaruhi oleh Amerika.[13]

Fakih mengatakan: “…sesungguhnya globalisasi tidak ada sangkut paut dengan slogan kesejahteraan rakyat atau keadilan sosial di negara-negara Dunia Ketiga, melainkan lebih didorong oleh kepentingan modal berskala global milik Negara-negara kaya dan perusahaan raksasa.[14] Bahkan menurut Fauzi, neoliberalisme di dunia ketiga merupakan babak kelanjutan dari pembangunisme. Namun, menurut Fauzi, neoliberalisme yang menggelar kuasa-kuasanya dengan cara yang berbeda dengan pembangunanisme, telah menjadi konteks baru dari gerakan-gerakan rakyat berbasis kultural di dunia ketiga. Maksudnya, kuasa-kuasa neoliberalisme yang hanya mengeksploitasi dan memiskinkan itu mendapat tantangan dengan lahirnya suatu kesadaran baru yang berwujud dalam gerakan-gerakan rakyat.[15]

Muto Ichiyō penulis Jepang dan juga profesor sosiologi menegaskan pendapatnya bahwa pasca Perang Dunia ke-II Amerika telah tampil sebagai penguasa dunia yang menghegemoni bangsa-bangsa di dunia, baik di bidang politik, militer maupun ekonomi[16] Era ini, oleh J. Milburn Thompson menyebutnya sebagainya fase ketiga sejarah kolonialialisme dunia, yaitu ketika ia tampil sebagai kekuatan Neo-Kolonial abad ke-20.[17]

Oleh karena besarnya kekuatan Amerika di level global, Ninan Koshy, spesialis dalam urusan internasional dan mantan Direktur Hubungan Internasional, Dewan Gereja-gereja se-Dunia  di Jenewa, menyebut imperium Amerika ini sebagai “The New Rome”, “Roma Baru”. Menurut Koshy, hal itu tampak di wajah Amerika hingga hari ini, pendudukan militer, pergantian rezim, dan kontrol langsung terhadap sumber daya ekonomi”.[18]

Pembangunan kekuatan imperium global Amerika setidaknya melalui kekuatan militer, ekonomi neoliberalisme, doktrin demokratisasi dan kebebasan. Kekuatan militer Amerika tampak pada intervensi-intervensi militer Amerika di negara-negara konflik seperti Afghanistan, Palestina, Irak, dan lain-lain. Bersamaan dengan itu adalah doktrin demokratisasi yang menjadi pembenar bagi penyerangan atau intervensi-intervensi militer itu.

Di bidang ekonomi melalui beberapa lembaga keuangan dunia, seperti Bank World Bank, IMF dan Perusahaan- perusahaan Multinasional (Multi-national Corporation/ MNC) atau Perusahaan-perusahaan Transnasional (TNCs/ Trans-National Corporations) Amerika melancarkan usaha menghegemoni sistem ekonomi dunia. Amerika juga menggunakan Organisasi Perdagangan Global (World Trade Organization/WTO) untuk mendukung sistem ekonomi neoliberalismenya.[19]

Globalisasi atau penyebarluasan ideologi serta kekuatan militer dan ekonomi negara-negara kapitalis yang maju seperti Amerika telah memunculkan dampak  semakin lebarnya jurang kemiskinan antara negara-negara Dunia Pertama, Dunia Kedua dengan Ketiga.[20] Thompson mengatakan istilah “Dunia Ketiga” untuk menunjuk ke negara-negara miskin di Asia dan Afrika sudah usang. Perbedaan-perbedaan antara ketiganya terletak pada masalah ekonomi, yaitu kekayaan versus kemiskinan. Dunia Pertama menunjuk pada negara-negara maju yang menganut sistem kapitalisme di Eropa dan Amerika. Sementara Dunia Kedua menunjuk pada negara-negara komunis, seperti Rusia. Tapi, Dunia Kedua ini agaknya tak ada lagi semenjak tumbangnya kekuatan komunis Rusia. Sementara Dunia Ketiga adalah negara-negara bekas jajahan di Asia dan Afrika yang dominan dengan realitas kemiskinan. Thompson mengingatkan bahwa, perbedaan-perbedaan ini hanyalah pada persoalan ekonomi, bukan pada pembangunan kebudayaan atau manusia.[21]

Tentang kaitan langsung antara Amerika dengan pemiskinan dunia, Khosy mengatakan: “The implication is clear. There is an integral relationship between Americanstyle free market economics and American security in the world. Globalization and imperial security go together.”[22] Globalisasi pada banyak hal telah menyebabkan konsekuensi negatif bagi ekonomi dunia. Kapitalisme cenderung memusatkan kekayaan dan memperlebar jurang antara kaya dan yang miskin. Globalisasilah yang telah menjadi perangkat penyebarluasan ideologi dan kekuatan ekonomi Amerika dan beberapa negara kapitalis  Barat.

Dalam makalah ini dan hendaknya juga pemahaman kita tidak terbatas memahami bahwa si imperialis itu hanya negara-negara Eropa dan Amerika. Namun juga, sebagai sebuah pendekatan atau teori, “imperialisme kebudayaan” juga menunjuk pada setiap pihak, siapapun yang selalu tampil berkuasa untuk mendominasi kebudayaan yang lain. Jadi itu bisa menunjuk pada wilayah yang lebih terbatas, seperti negara (nasional) atau di luar imperialis yang sudah mapan, Eropa dan Amerika itu. Menurut saya, hegemoni kebudayaan Arab melalui agama Islam di nusatara, misalnya juga bisa digolongkan sebagai imperialisme kebudayaan. Dan pula, pengertian imperiaisme kebudayaan itu selalu berkembang. Misalnya, dalam konteks sekarang, penyebaran nasionalisme atau kebudayaan Amerika, selain melalui media juga melalui ekspansi kelompok-kelompok Kristen konservatif-fundamentalis.

Dengan demikian, selain bahwa sudah jelas secara nasional, nusantara adalah sebuah peradaban korban kolonialisme dan imperialisme bangsa-bangsa Eropa di masa lampau, dan Indonesia kini menjadi sasaran politik-ekonomi Amerika, saya ingin mengajak kita untuk memahami bahwa, “lokalitas” kita bahkan sudah dan sedang menjadi korban imperialisme kebudayaan dari peradaban dan kebudayaan mana saja.

Apa lokalitas itu? Apakah ia ada karena kemudian dikonstruksi apa yang disebut ”globalitas”? Apakah ia sebatas istilah yang secara etimologis disebut berasal dari kata Latin, locus (untuk pluralnya ditulis loci) yang berarti ”tempat”, ”posisi” atau sesuatu yang menunjuk pada bagian, tempat atau posisi yang lebih spesifik?[23] Atau ”lokalitas” adalah ruang dan waktu, ia adalah context yang kompleks dan rumit? Ia adalah context untuk tenunan, jalinan sejarah, mitos, budaya, identitas dan dinamika sosial, politik, ekonomi dari awalnya hingga hari ini. Ia adalah tentang kebudayaan atau tentang manusia-manusia pada ruang dan waktu tertentu, dalam usahanya mencari dan bertemu dengan Tuhan, yang hadir dalam kesehariannya: secara sosial, politik, ekonomi dan hari ini, adalah teknologi canggih.

Dengan imperialisme kebudayaan, baik global maupun nasional, pernah nasib ”lokalitas” ini memprihatinkan. Ia menjadi objek untuk dijajah, ditaklukkan di zaman kolonialisme. Ia juga adalah objek untuk ditobatkan oleh agama-agama pada masa Islamisasi dan Kristenisasi demi konversi. Lokalitas menjadi objek untuk dinilai secara moral, dan kebanyakan ia disamakan dengan ”kebodohan”, ”keterbelakangan”, ”kejorokan” dan ”kekafiran”. Di Indonesia, di era orde baru, ”lokalitas” dilihat secara politis. Ia diperlakukan sebagai sebuah entitas yang mengancam negara. Makanya, di masa itu “orang-orang daerah” takut atau penuh dengan kehati-hatian ketika bicara “lokalitas”-nya.

“Secara spesifik, pada masa Orde Baru dulu, kita menyaksikan bagaimana segala hal yang berkaitan dengan ‘semangat kedaerahan’ dipandang sebagai sesuatu yang buruk, atau sekurang-kurangnya mengandung konotasi yang kurang baik sehingga harus dinegasikan jika hendak menciptakan makna positif apa yang disebut ‘semangat ke-Indonesiaan.’”[24] Dalam konteks Indonesia, “lokalitas” didestruksi oleh proyek nasionalisme, proyek NKRI (harga mati). Dalam konteks global, “lokalitas” dihancurkan oleh kapitalisme, juga dogma tunggal kekristenan Barat.

Konon, memasuki era postmodern, “lokalitas” kembali dicari, digali dan dicintai.

Bentuk-bentuk dan Dampak Imperialisme Kebudayaan

Ketika disebut bahwa “imperiaisme kebudayaan” itu secara teoritik juga diistilahkan, “neo-kolonialisme,” “soft imperialism,”, “imperialisme ekonomi,” “imperialisme media,” “imperialisme struktural, “ketergantungan budaya dan sinkronisasi,” “kolonialisme elektronik,” “imperialisme ideologis,” dan “imperialisme komunikasi, maka sesungguhnya kita sudah bisa mengindentifikasi bentuk-bentuk imperialisme kebudayaan itu. Namun, lebih spefisik saya akan menggunakan teori Orientalisme Edwad Said untuk menunjukkan bentuk-bentuk imperialisme itu. Alasan saya, beberapa bentuk yang dia sebut masih relevan hingga konteks kontemporer kita.

Edward Said menggunakan istilah “orientalisme” untuk menunjuk bagaimana peradaban kita, Timur, dikonstruksi oleh kebudayaan, paradigma dan ilmu pengetahuan Barat mulai era kolonialisme. Meminjam teori kekuasaan Michel Foucault, Said menyimpulkan empat jenis relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme, yaitu: kekuasaan politis, kekuasaan intelektual, kekuasaan kultural, dan kekuasaan moral.[25]

Pertama, kekuasaan politis (kolonialisme dan imperialisme). Kolonialisme dalam bentuk penaklukan wilayah dan eksploitasi sumber daya alam dan tenaga manusia terjadi di era kolonialisme, abad 16 sampai awal abad 20. Inilah masa keemasaan bagi bangsa-bangsa penjajah dan sebaliknya era kehancuran bagi bangsa-bangsa yang dijajah. Penaklukan wilayah sekaligus penaklukan kesadaran, sumber daya alam dan sumber daya manusia. Individu dan masyarakat bangsa-bangsa jajahan dikontrol, dikonstruksi dan dieksploitasi oleh bangsa-bangsa penjajah. Ini mempengaruhi totalitas kebudayaan bangsa-bangsa yang dijajah. Di era sekarang, Amerika, misalnya tidak lagi melakukan penaklukan wilayah, kecuali atas nama demokrasi menduduki beberapa negara timur tengah. Namun kini, ia masuk dengan wacana, ilmu pengetahuan, demokratisasi dan globalisasi.

Kedua, kekuasaan intelektual (mendidik timur melalui sains, linguistik dan pengetahuan lain). Dalam kasus Indonesia, di masa kolonial, imperialisme kebudayaan melalui ilmu pengetahuan hadir dalam bentuk lembaga-lembaga penelitian, peneliti/pakar dengan penelitian-penelitiannya dan berlanjut hingga hari dan ini penting juga adalah paradigma berpengetahuan. Buku Hanneman Samuel, Genealogi Kekuasaan Ilmu Sosial di Indonesia 2010, membedah tentang sejarah ilmu sosial di Indonesia sebagai bagian dari sejarah kolonialisme dan imperialisme. Ia menyebut lembaga penelitian Belanda, seperti Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) yang berpusat di Leiden. Lembaga Kajian Ilmu Bahasa, Negara dan Antropologi yang berdiri tahun 1851 tersebut melayani kepentingan pemerintah Kerajaan Belanda untuk mempertahankan status quo di Hindia-Belanda. Lembaga ini yang banyak memberikan masukan kepada pemerintah Kerajaan Belanda dan kemudian darinya terbangun citra-citra tentang kebudayaan masyarakat Hindia-Belanda. Juga disebut ilmuwan yang ahli Islam, Snouck Hurgronje yang banyak meneliti Islam di Nusantara. Hasil penelitian-penelitiannya menjadi masukan bagi pemerintah Kerajaan Belanda untuk mengambil kebijakan mengontrol Islam di nusantara. Setelah masa kolonialisme oleh Belanda, kiblat ilmu pengetahuan, terutama sosiologi dan antropologi beralih ke Amerika. Termasuk ilmu ekonomi, misalnya mungkin kita pernah dengan apa yang diistilahkan Mafia Barkeley.

Paradigma ilmu pengetahuan modern yang sangat mempengaruhi indolog-indolog Eropa maupun Amerika adalah positivisme. Sebuah paradigma pengetahuan yang awalnya dipakai untuk ilmu alam. Oleh antara lain Auguste Comte, paradigma ini diterapkan di bidang ilmu sosial. Sebagai paradigma ilmu pengetahuan ilmu alam, positivisme mendekat individu, masyarakat dan kebudayaannya secara ”netral”, objektif, tanpa rasa, cenderung memahami ”objek” sebagai ”benda” yang statis dan monolitik, sehingga paradigma ini  memiliki kemampuan (atau kecenderungnan) untuk memanipulasi ”objek” yang diteliti. Bagi para indolog yang memakai paradigma ini memahami masyarakat nusantara sebagai ”objek” penelitian, seperti tikus atau kelinci percobaan di laborarium, yang bisa dimanipulasi dan mengabaikan fakta keberagaman dan geraknya yang dinamis. Dengan positivisme maka masyarakat nusantara dimodernisasi, distrukturisasi dan dibingkai berdasarkan teori-teori baku para indolog tersebut.

Kapitalisme mendapat untung dengan paradigma ilmu pengetahuan ini. Di Indonesia sekarang ini menjamur sekolah-sekolah kejuruan yang tampil dengan jargon ”lulusan siap pakai.” Murid atau manusia itu dipahami tak lebih sebagai ”sekrup” atau ”mesin produksi” yang siap memproduksi keuntungan untuk kapitalis. Positivisme kemudian bergandengan dengan kepentingan-kepentingan ekonomis para kapitalis. Belajar di sekolah bukan terutama untuk merdeka dari kebodohan pengetahuan tapi untuk menjadi manusia produktif dari segi material dan pekerja. Manusia setengah robot.

Ketiga, kekuasaan kultural (kolonlisasi selera, teks dan nilai-nilai). Oleh Barat, masyarakat Timur dianggap eksotik tapi terkebelakang, bodoh dan kafir. Maka, modernisasi, kemajuan dan pengadaban, wacana ilmu pengetahuan dan juga agama oleh Barat tampil sok pahlawan datang menyelamatkan kebodohan dan keterbelakangan dan keberdosaan orang-orang Timur. Dengan demikian, apa yang menjadi selera makan, berpakain, seni, dan aksara orang-orang Timur haruslah apa yang menjadi standard Barat. Jadinya adalah sejarah, identitas, kuliner lokal perlahan-lahan digantikan dengan yang kebarat-baratan.

Kemudian, era Amerika sebagai ”The New Rome”, masih kita rasakan hingga hari ini. Mulai dari selera makan, dari Tinutuan atau ayam lalapan ke KFC atau Pizza, Mc Donald, Hot Dog, dlsb. Berpakaian, dari kain sarung ke jeans, jas, gaun, dan ”baju tak lengkap dijahit”. Film-film produksi Hollywood menyebarkan pesan-pesan nasionalisme Amerika, atau bahkan secara samar ingin mengatakan kepada masyarakat dunia, bahwa Amerika adalah pahlawan dunia. Bahasa Inggris, kemudian menjadi bahasa wajib internasional, seperti bahasa Yunani di zaman Helenisme. Semua itu membawa dampak pada perubahan kebudayaan kita.

Keempat kekuasaan moral. Bikhu Parekh menyebut ”monisme moral” (baik Yunani, Kristen hingga Liberal) sebagai keyakianan bahwa hanya ada satu sumber moral yang benar sehingga harus berlaku untuk semua kebudayaan, yaitu moral Barat yang Kristen. Monisme moral menolak keberagaman kultur, nilai dan kebijaksanaan. Agama Kristen yang diperkenalkan mulai dari abad 16 oleh Spanyol dan Portugis hingga Belanda sampai awal abad 20 dan Amerika hingga sekarang, disemangati oleh doktrin bahwa tidak keselamatan di luar agama Kristen. Terkini, selain gerakan kelompok-kelompok Kristen transnasional dari Amerika yang konservatif dan fundamentalis yang semakin massif, di Islam kita melihat gejala kehadiran kelompok-kelompok dengan paham wahabi dan salafiah dari Arab. Juga datang dengan semangat islamisasi, karena diyakini bahwa Islam adalah satu-satunya sumber moral yang benar.

Apa dampaknya? Lokalitas dengan segala kebaikannya, kearifan dan kekayaan nilai kulturnya dihakimi, dianggap sesat dan dengannya berusaha diberangus. Tentu yang saya maksud kelompok-kelompok keagamaan transnasional yang fundamentalis konservatif tersebut. Masyarakat lokal kita lupa sejarahnya, menjadi kabur identitasnya dan lebih parah lagi menjadi manusia/masyarakat yang tanpa sejarah, tanpa identitas dan tanpa tujuan jelas dalam kehadirannya bersama-sama masyarakat yang semakin majemuk.

 APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Kembali ke Rumah, Lokus Kita

Sabenarnya singkat saja untuk menjawab pertanyaan pokok ini, yaitu ”Mari kita kembali ke rumah kita!” Tapi, saya harus menjelaskan sedikit, sebab ini bisa disalah pahami, dan bahaya memunculkan tuduhan primordialisme atau bahkan separatis.

Kembali ke ”rumah” ke asal, ke sejarah, ke identitas ke kearifan-kearifan kultur kita tidak sama dengan menjadi manusia dan masyarakat yang eksklusif atau seperti tuduhan pemerintah orde baru, menjadi ”primordial(isme)”. Kembali ke ”rumah” (bahasa Minahasa: Mawale) berarti kembali ke sejarah, kultur yang (mestinya) menjadi pijakan gerak hidup kita. Seperti seorang anak manusia yang setelah lelah dan hampir kalah dalam ”pergulatan hidup yang timpang” kalah dengan kekuasaan yang hegemonik, akhirnya tiba pada tahap rindu pulang ke tempat asal, di mana ia dibesarkan dengan kearifan-kearifan leluhur. Sebab, tempat asal, apapun dia menurut orang lain, adalah ”rumah” kebudayaan kita. Meskipun, adalah sebuah keniscayaan dalam peziarahan yang kita lakukan, kita telah menjadi manusia ”setengah hibrid”.

Dampak yang sangat fatal sehingga penting diperhatikan dari imperialisme kebudayaan yang sudah berlansung lama ini adalah terkonstruksinya kita dan masyarakat kita menjadi manusia-manusia yang ”memusuhi yang lain”, menjadi keras dan kasar terhadap kehidupan komunitas, menjadi manusia sok (moralis) agamis tapi mengabaikan persolan-persoalan kemanusiaan. Pendeknya menjadi ”aku” yang bukan ”aku” lagi, menjadi ”aku” yang dikonstruksi oleh selera, nilai, moral dan harapan masa depan yang tidak berakar dari konteks lokalitas. Menjadi manusia dengan kebudayaan lain.

 Bagaimana Kita Melakukannya?

Perjuangan ini adalah berat. Melawan kekuatan global ataupun kekuatan yang berwajah suci dengan dogma surga, tidaklah muda. Apalagi ia sudah berlangsung lama dan penetrasinya seperti sudah menjalar hingga ke sum-sum kesadaran nalar dan intuisi masyarakat kita. Tapi, ini harus dilakukan. Kita adalah generasi yang (harus) memilih jalan ”melawan”, pun hasilnya nanti baru akan dirasakan oleh anak cucu kita di masa depan. Ada beberapa hal yang saya usul kita lakukan (dan ini bukan tips siap dipakai, masih butuh penalaran dan tafsir lebih dalam lagi):

Pertama, membaca sejarah lokalitas kita dari paradigma, kesadaran dan pendekatan yang kita rumuskan berangkat dari tradisi keilmuan kebudayaan kita. Saya ambil contoh kami di Minahasa, melalui Mawale Cultural Center. Sejarah Minahasa ditulis oleh para zendeling atau peneliti dan ahli-ahli sejarah Eropa (Belanda) juga Indonesia (dengan historografi Indonesia sentrisnya). Di tambah tidak ada tradisi tulisan dalam masyarakat kami di masa lampau, maka membaca sejarah yang berbasis tradisi keilmuan Minahasa adalah dengan cara berusaha memisahkan antara mitos kontruksi zendeling atau ilmuwan, dan berusaha mendekati yang historis. Menafsir artefak, syair-syari (dalam nyanyian tarian Maengket dan peribahasa-peribahasa) dan mengenal lebih beragam versi dari tuturan lisan adalah penting dilakukan. Untuk apa? Untuk mendudukkan sejarah Minahasa sebagai subjek sejarah, bukan objek.

Kedua, melakukan ziarah kultura, menjejaki ulang jejak-jejak peradaban lokus kita. Banyak kebudayaan kita yang tidak mengenal tradisi tulisan pada mulanya. Tapi, bukan berarti leluhur kita tidak ”menuliskan” sejarahnya. Mereka mendokumentasikan itu pada artefak, syair-syair tua, nyanyian-nyanyian, tradisi. dlsb. Semua itu adalah subjek kebudayaan lokus kita. Di situ tersimpan kearifan-kearifan leluhur, sejarah, atau apa yang hendak dipesankan oleh para pendahulu kita. Untuk apa? Untuk memosisikan ulang pengetahuan kebudayaan kita sebagai sumber pengetahuan, moral, religiusitas, dan filosofi hidup.

Ketiga, melakukan rekonstruksi kembali sistem dan tata serta nilai politik, sosial juga ekonomi kebudayaan kita. Kita bisa menggali, dan menafsir serta merekonstruksi dari tradisi atau semua warisan kebudayaan kita. Untuk apa? Untuk menemukenali kembali sistem pengetahuan dan nilai kebudayaan kita dalam hal sistem sosial, poltik dan ekonomi.

Keempat, melakukan kontektualisasi nilai dan praktek agama yang kita anut dengan nilai-nilai religi kebudayaan kita. Caranya adalah dengan mempelajari ulang bentuk-bentuk ritual, syair-syair yang mengandung makna religiusitas dalam banyak hal dari kebudayaan kita. Untuk apa? Untuk mendamaikan antara agama yang kita peluk (yang diterima secara sadar atau diwariskan kepada kita kemudian hari) dengan kebudayaan kita. Kita pasti akan menemukan nilai-nilai agamis dalam kebudayaan kita yang dapat memperkaya agama yang kita peluk sekarang. Hasilnya, pasti bicara soal pembebasan, nilai persaudaraan yang lintas agama, suku, dan ras.

Kelima, melakukan dialog kebudayaan. Sistem nilai dan makna yang kita peroleh dari menafsir sejarah, arfetak, tradisi kebudayaan kita didialogkan dengan ilmu pengetahuan modern, ideologi apa saja, filsafat dan nilai agama(-agama) yang ada di lokus kita masing-masing. Usaha ini bukan untuk modernisasi atau melakukan rasionalisasi atas apa yang orang-orang modern sebut sebagai yang tradisional. Hal ini dilakukan untuk memosisikan kembali segala yang kebudayaan kita punya sebagai ”subjek” bagi gerak hidup individu dan komunitas kita.

Talete, Tomohon, 2 Mei 2013


* Tulisan ini pernah disampaikan pada Pelatihan Kader Dasar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Minahasa) se-Indonesia Timur Jumat, 3 Mei 2013 di Tondano, Minahasa.

[1] “Imperialism”,  http://www.etymonline.com/index.php?allowed_in_frame=0&search= imperialism&searchmode=none.

[2] Bikhu Rethingking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, penerjemah C.B. Bambang Kukuh Adi. Yogyakarta: Kanisius, 2008, 196.

[3] Emilee Rauschenberger, Deconstructing Cultural Imperialism: Examining the Mechanisms Behind U.S. Domination of the Global Cultural Trade (2003), http://politics.as.nyu.edu/docs/IO/4600 /rauschenberger_thesis.pdf

[4] Schiller, Herbert I.  Communication and Cultural Domination. (New York:  International Arts and Sciences Press, 1976).

[5] Tissa Balasurya, Teologi Ziarah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994, 18.

[6] Ibid.

[7] David J. Bosch, Tranformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, (Jakarta: BPK, 1999), hlm. 473.

[8] Samir Amin (dalam Jurnal Wacana, Yogyakarta: Insist, 2000) mengatakan: “Revolusi Industri, 1800-1920 merupakan tahap panjang pertama kapitalisme, sekaligus merupakan periode mekanisasi industri.

[9] Neoliberalisme oleh sejumlah pakar mengatakan sebagai kebangkitan kembali liberalisme lama di masa yang baru. Mansour Fakih (dalam Jurnal Wacana, Yogyakarta: Insist, 2000) mengatakan: “Para penganut faham ekonomi neo-liberal percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dicapai sebagai hasil wajar dari adanya ‘persaiangan bebas’.”

[10] Soal istilah Dunia Ketiga ini, mengutip Peter Worsley, Fauzi menjelaskan: “Istilah ‘Dunia Ketiga’ pertama kali diperkenalkan pada Agustus 1952 oleh Alfred Sauvy, seorang ahli demografi Perancsi untuk menggambarkan negara bangsa yang baru bermunculan di akhir Perang Dunia ke-2 terutama Asia dan Afrika. Istilah “Dunia Ketiga” kian popular setelah konsolidasi Negara-negara anti kolonialisme dan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung, yang kemudian dalam golongan ini kemudian masuk pula Negara-negara Amerika Latin. Noer Fauzi, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Insist, 2005), hlm. 1.

[11] Globalisasi dalam bidang ekonomi di abad 21 ini merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, di mana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. (lih. Sri Hartati Samhadi, “SDM Indonesia dalam Persaingan Global”, dalam http://www.duniaesai.com.

[12] Istilah “Pembangunan” ini barangkali sama dengan pengertian yang dipakai oleh Siwu dalam menjelaskan modernisasi dan industrialisasi yang dilakukan oleh sejumlah Negara bangsa baru setelah meraih kemerdekaannya.

[13] Mansour Fakih, “Pembangunan: Pelajaran Apa yang Kita Peroleh?”, dalam Jurnal Wacana, Edisi 5. tahun 11 2000, (Yogyakarta: Insist, 2000), hlm.6.  

[14] Ibid., hlm. 7.

[15] Noer Fauzi, Memahami Gerakan-gerakan Rakyat Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Insist, 2005), hlm. 5.

[16] Muto Ichiyo, “The American Empire in Historical Perspective”, dalam Reformed World, (Geneva: WARC, Volume 56, December 2006), hlm. 348.

[17] J. Milburn Thompson., Keadilan dan Perdamaian: Tanggungjawab Kristiani dalam Pembangunan Dunia, terj. Jalilin Sirait, P. Hutapea dan Steve Gaspersz, (Jakarta: BPK, 2009) hlm. 23.

[18] Ninan Koshy, “The Global Empire: an Overview” dalam Reformed World, Vol. 56 December 2006….hlm. 339.

[19] Fakih, op.cit., hlm. 3-16.

[20] Istilah “Dunia Ketiga” pertama kali diperkenalkan oleh seorang demografer Perancis Alfred Sauvy pada tahun 1952  untuk membedakan negara-negara yang tidak bersekutu dengan Blok Barat ataupun Blok Soviet pada masa Perang Dingin (sumber: wikipedia.org).

[21] Thompson, op.cit., hlm. 53.

[22] Khosy, op.cit., hlm. 334.

[23] Bahasa Yunani untuk arti yang sama disebut “topos”.

[24] Labibah Zain, Lathiful Khuluq (eds.), Gus Mus: Satu Rumah Seribu Pintu (Yogyakarta, LKIS, 2009), 226

[25] Edward Said, Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur sebagai Subjek. Yogyakar: Pustaka Pelajar, 2010.

Tinggalkan komentar