Semua tulisan dari jurnaloriente

Mencari Manado

nyiur

~ ZIARAH ~

Oleh Denni Pinontoan

MANADO, sore itu seperti biasanya, ramai dan sesak. Saya dari kampus UNSRAT hendak mengarah ke toko buku Gramedia. Namun, di jalan IKIP Bawah, bayangan menu RW menggoda saya. Rumah makan Minahasa, di samping RS Ratumbusyang sudah dekat. Tidak langsung ke Gramedia, saya putuskan singgah makan di rumah makan itu.

Saya pesan RW dan Pangi. Dua menu favorit. Biasanya menu ini dijumpai di pesta-pesta atau acara apa saja keluarga-keluarga Minahasa. Sebenarnya ada juga menu Minahasa lain yang memjadi kesukaan saya di rumah makan ini, ragey. Tapi, entah kenapa setiap ke kesini saya cuma ingat RW. Menemani RW dan pangi, ada sup brenebon (kacang merah) di mangkuk kecil.

Selesai makan, istirahat sejenak. Habiskan sebatang rokok, setelah itu saya pun menuju ke Gramedia. Teman Fredy Wowor sudah menunggu di sana. Di situlah selalu tempatnya setelah tidak ada lagi kegiatan di kampus. Angkot yang saya tumpangi jurusan Kampus-Pasar 45, seperti rute yang telah diatur Dinas Perhubungan Kota Manado, melewati jalan Piere Tendean atau yang terkenal dengan nama Boulevard.

Sepertinya, mall-mall dan pusat-pusat perbelanjaan lannya itu tidak pernah sunyi. Pemerintah kota periode lalu mempopulerkan kawasan ini dengan nama ‘B on B”, Boulevard on Business. Segera, Boulevard menjadi ramai. Angkot yang lewat di situ terpaksa harus sudah siap dengan kemacetan karena padatnya kendaraan ditambah warga yang berbelanja dan pesiar di kawasan itu.

Kira-kira 15 tahun lalu buih ombak di pantai ini masih terlihat dari jalanan. Kini, pemandangnnya diganti dengan tembok-tembok dan dinding-dinding benton kokoh dicat warna-warni. Tinggal tersisa di sebuah lokasi yang oleh warga setempat menyebutnya ”pantai Panglima”.

Sore yang sibuk. Ramai dan padat. Sebuah pemandangan yang mulai identik dengan kota Manado sejak batu-batu besar, tanah yang diangkrut truk-truk besar, dan bangunan-bangunan megah berdiri menimbun bibir pantai itu. Pagar beton yang dulunya menjadi tempat santai warga kota Manado atau orang-orang Minahasa dari gunung yang pesiar ke kota ini untuk bersantai ria juga tinggal sedikit yang tersisa. Dalam ingatan saya tentang Kota Manado 15 tahun silam, pagar beton itu identik dengan nama Boulevard, nama yang populer untuk kawasan ini. Di tahun-tahun itu, saya dan beberapa teman dari Motoling menjual buah durian di kawasan ini.

mdoSaya turun dekat IT Centre, sebuah pusat perbelanjaan barang-barang elektronik terbesar di Manado. Dari situ saya menyusuri sebuah jalan setapak untuk menuju ke Gramedia yang berada di jalan Samratulangi. Jalannya kecil, hanya khusus untuk pejalan kaki, namun ia selalu ramai. Ia menghubungkan antara jalan raya Samratulangi dengan Piere Tendean. Jalannya memang kecil dan pendek, hanya kira-kira 100 meter, tapi bagian kiri dan kanannya kios-kios yang menjual makanan cukup banyak. Saya juga sering makan di sini kalau pas lagi berada di kawasan ini. Makanannya murah-murah.

Manado Tempo Doeloe

Gramedia tak kalah ramainya. Buku-buku tulis untuk anak sekolah dipajang di salah satu bagian lantai dasar toko itu. Saya hanya sepintas melihat tumpukan itu kemudian ke lantai dua.

Ada sebuah buku yang menarik perhatian saya, Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992,  editornya George Miller. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Buku tebal ini memuat 28 catatan orang dengan beragam latarbelakang tentang daerah-daerah di kawasan nusantara bagian Timur.

Salah satu satu bagian buku itu memuat catatan Alfred Russel Wallace tentang perjalannya di Minahasa dan daerah sekitarnya. Wallace adalah seorang naturalis, penjelajah, pengembara, ahli antropologi dan ahli biologi berkebangsaan Inggris. Ia lahir pada 8 Januari 1823, di Usk, Monmouthshire, Wales. Ia meninggal pada usia 90 tahun (7 November 1913) di Broadstone, Dorset, Inggris. Sebelum Charles Darwin menghadirkan teori evolusinya, Wallace sudah mengusulkan sebuah teori tentang seleksi alam. Di tahun 1854 – 1862 ia menjelajah berbagai wilayah di Nusantara. Hasil penjelajahannya itu, diterbitkan dalam buku berjudul The Malay Archipelago.

Wallace menulis, ketika tiba di Manado, ia disambut oleh beberapa orang, yang disebutnya “tuan”, salah satunya  “Tuan Neys”. Ia, menurut Wallace, “Orang asli Manado, yang pernah menuntut ilmu ke India serta menguasai bahasa Belanda, Inggris dan Melayu”. Agak tidak lazim nama “Neys” bagi orang-orang Manado atau Minahasa.

“Mungkin ia Borgo atau indo Minahasa-Eropa,” ujar saya kepada Fredy yang juga tertarik membaca bagian itu.

Manado, sudah lama menjadi kota kosmopolitan. Ketika kelapa menjadi komoditi primadona orang-orang Minahasa dan sekitarnya, Manado menjadi kota dagang yang ramai.  Pada 1927, sebuah perusahaan dari Amerika Serikat mulai mengekspor kopra dari Manado ke Pantai Barat Amerika, terutama Los Angeles. Pada 1930-an, sebuah perusahaan Jepang juga beroperasi di Manado. Di masa itu, Manado menjadi salah satu titik temu perdagangan kopra global.

Marthen Rombon, akademisi di jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unsrat menulis dalam artikelnya Studi Sejarah tentang Proses Terbentuk dan Berkembangnya  Areal Pemukiman di Pesisir Pantai Manado (2005), bahwa pada mulanya, penduduk asli Manado adalah orang-orang Malesung. Kemudian, di kisaran abad 16 datang suku Bantik. Manado menjadi semakin majemuk ketika datang pula pedagang-pedagang asing, termasuk nelayan dan kaum imigran yang berasal dari daerah-daerah kerajaan di sekitar Minahasa. Dari jauh datang imigran Cina, Arab, Ternate, Bugis Makasar, Jawa

Pada tahun 1673, benteng peninggalan Portugis, oleh Belanda dibangun lagi lebih kokoh dengan beton. Benteng ini kemudian dinamakan Ford Amsterdam. Renovasi bentang ini dilakukan sekitaran tahun 1703, yang kemudian disebut Nieuw Amsterdam. Selama proses pembangunan dan tahun-tahun setelah itu, tulis Rombon, denyut kehidupan lokasi benteng dan sekitarnya sangat terasa. Frekuensi keluar-masuk nelayan dan pedagang terus meningkat dari tahun ke tahun. Dengannya maka terbentuklah jalinan kerjasama menguntungkan di antara mereka. Dari pusat-pusat perdagangan yang menyebar di lintasan laut utara Sulawesi dan teluk Tomini arus barang dan modal banyak dikendalikan dari Manado yang berpusat di Nieuw Amsterdam.

Kota Manado, kota kosmopolitan. Ternyata itu sudah sejak dahulu. Posisinya yang strategis membuat ia menjadi mudah menjadi kota yang ramai dengan beragam orang dengan kepentingannya masing-masing. Peran Belanda cukup penting untuk hal ini.

”Malah Belanda sendiri telah menciptakan iklim berusaha yang kemudian telah mengundang lebih banyak pedagang Cina, Arab, Ternate, Sangir, Bugis-Makassar dan Gorontalo. Perekrutan prajurit dari Ternate dan kedatangan para pekerja-pejabat sipil dan militer Belanda, atau mengarusnya orang-orang Minahasa yang ‘turun gunung’ sambil membawa produk pertaman-hutannya, lama kelamaan telah membuat kawasan sepi ini menjadi ramai. Dalam perkembangan setelah lebih seabad kemudian, lewat kendali dari benteng pengaturan pemukiman yang mencakup lokasi pesisir mulai dilakukan,’ tulis Rombon.

Harry Kawilarang, wartawan senior menulis Lomba Pencarian Dunia Baru Musafir Eropa di Maluku Utara Hingga Laut Sulawesi. Nama Manado, seperti tulis Kawilarang,  mulai tercantum dalam peta dunia pada tahun 1541 oleh kartografer Spanyol, Nicolas Desliens. Waktu itu tidak dalam bentuk kota, tetapi nama sebuah pulau yang di kenal sekarang, Manado Tua. Pada 1590, Loco, seorang pelaut Spanyol menempatkan Manado sebagai nama laut. Terdapat banyak penafsiran oleh berbagai peneliti mengenai asal muasal nama ini.

Dari penelitian G. Molsbergen, sepertu tulis Kawilarang, diperoleh keterangan bahwa nama pulau Manado Tua mulanya disebut Manarow, asal dari bahasa Tontembuan, yang artinya “sesuatu yang terletak di seberang,” yaitu pulau batu atau pulau gunung yang berhadapan langsung dengan tempat bernama Wenang. Nama wenang sendiri adalah nama jenis pohon yang dalam bahasa latin disebut: Macaranga Hispida. Namun, ini salah satu dari sekian pendapat mengenai asal-usul nama Manado. Bert Supit, misalnya tidak sepakat dengan pendapat itu. Ia pun mengajukan pendapat lain.

Dalam Dari Amanat Watu Pinawetengan Sampai Gelora Minawanua (1986), Supit mengusulkan asal kata Manado dari kata Maadon. Maadon adalah sebuah kerajaan yang berpusat di pantai Timur, yaitu Kema. Maadon dipimpin oleh salah seorang putra Raja Loloda dari Halmahera, yang lari ke Maadon karena konflik antara kerajaan-kerajaan di sana. Kerajaan ini muncul kira kira-kira abad 14 atau 15.

Kawilarang mencatat, pada 1819 warga Cina di Manado yang beragama Kong Hu Cu membangun klenteng Ban Hian Kiong. Ada juga pemukiman masyarakat pedagang turunan Arab yang kemudian mendirikan pemukiman Kampung Arab di pusat kota. Manado sejak itu mulai ramai dan sesak orang penduduk yang beragam agama dan etnis. ”Pada 1854, jumlah penduduk Manado berkisar 2529 orang,” tulis Kawilarang.

Diantaranya terdapat 291 turunan Eropa, 630 turunan Cina dan 1043 turunan Borgo (Indo-Eropa) , selebihnya turunan Arab dan pribumi Minahasa. Hal ini terjadi karena Manado berfungsi sebagai pusat niaga untuk berbelanja dan bukan tempat pemukiman bagi pribumi yang tetap tinggal di pedalaman hinterland.

Identitas Kota Manado dan Secangkir Kopi

Hari sudah sangat sore ketika saya dan Fredy tiba di Kantor Kecamatan Sario yang berlokasi di depan KONI dan tidak jauh dari Gedung DPR Provinsi Sulut. Sebuah ruangan berukuran lapangan bulu tangkis, di salah satu dindingnya terpajang baliho berukuran besar. Di baliho itu ada gambar mencolok yang menarik perhatian saya, gambar mobil jeep suzuki dan di sampingnya dua waraney kawasaran. Yang satu bagian lengan yang berotot tergambar tato naga. Gambar ini seolah merefleksikan Kota Manado, kota di mana yang global dan lokal bertemu dalam satu pusaran ekonomi dan politik.

Itu baliho menjelaskan acara kumpul-kumpul sore itu, diskusi mengenai Identitas Kota Manado. Keynote speaker-nya Dr. Ivan Kaunang. Penyelenggara diskusi Pemerintah Kecamatan Sario dan Komunitas Auto Mobil Jeep Suzuki Manado. Hadir dalam diskusi budayawan, tokoh pemuda, akademisi dan pemerhati kota Manado. Wakil Walikota Manado, Harley Mangindaan datang menyusul sementara diskusi berlangsung.

“Jadi, anggap jo ini diskusi, sama deng di rumah kopi. Santai tapi serius,” Ivan Kaunang memulai diskusi. Dia juga sediakan makalah.

Diskusi berlangsung hangat. Ada yang bicara soal sejarah Manado. Beberapa kekhasannya yang mencolok. Tak ketinggalan komentar tentang ”3B”, Boulevard, Bibir dan Bunaken. Ada juga yang masih mengingat kata Tinutuan, julukan untuk Kota Manado yang diluncurkan oleh Walikota sebelumnya, Jimmy Rimba Rogi. Soal kota Manado yang multikultural berkali-kali disebut oleh para peserta diskusi. Kesimpulannya, identitas Kota Manado masih masih sulit dirumuskan. ”Identitas itu cair, dinamis. Agak sulit kita merumuskan identitas Kota Manado di tengah kepelbagaian dan pergerakannya yang cepat,” komentar saya dalam diskusi itu.

Beberapa budayawan Minahasa menekankan soal posisi Kota Manado sebagai bagian dari tanah adat Minahasa. ”Budaya Minahasa bagaimanapun jangan dilupakan. Kota Manado adalah bagian dari Minahasa.”

Prospek dan juga persoalan pariwisata hangat dibicarakan. Ada optmisme. Namun sayang diskusi tak menyinggung soal beberapa faktor yang menunjang atau yang bisa mendapat efek ekonomis dari pengembangan pariwisata. Yaitu, sentra-sentra produksi kerajinan tangan untuk oleh-oleh bagi para turis. Termasuk apa yang sempat populer, yaitu batik Manado. Meski motif dan namanya berbau Manado, tapi ia diproduksi di luar Manado. ”Agak anehnya juga ketika disebut batik Manado. Bukankah batik itu dari luar sana?” Mangindaan berkomentar.

Sofyan Yosadi, pengacara dan juga pemerhati budaya Tionghoa-Minahasa mengkritik kampanye ”Brenti Jo Bagate” dari Kepolisian Daerah dan Pemerintah. ”Ini sangat tidak Minahasa sekali. Sudah tentu sasarannya cap tikus. Bukankah banyak orang Minahasa yang bisa sekolah, bisa menjadi polisi, dosen, atau bahkan pendeta, karena orang tuanya petani cap tikus?!” ujar Yosadi dengan semangat.

Hari sudah malam. Tak terasa diskusi sudah berlangsung sekitar 3 jam. Cangkir-cangkir kopi sudah tak beruap. Kopi hangat sudah diminum habis. Musik dari kelompok band yang anggota-anggotanya adalah veteran pemain band di era tahun 90-an, plus pegawai negeri sipil di pemkot Manado mengalunkan beberapa tembang Barat. Tak terdengar lagi lagu ”Kota Manado yang Kucintai”, atau lagu-lagu lain berbahasa Manado yang syairnya kental dengan dialek Manado Melayu.

Diskusi berakhir dengan kesimpulan, ”Kita perlu melanjutkan lagi diskusi-diskusi serupa ini untuk membahas hal-hal berkaitan dengan Kota Manado.” Dengan kata lain, diskusi berakhir dengan tanpa menemukan identitas Kota Manado.

Identitas memang dinamis. Tapi, ia berakar pada satu hal, yaitu kesadaran pada nilai kultur, yang tidak melulu soal masa lalu.

29 Juni – 01 Juli 2012