Semua tulisan dari jurnaloriente

Serui

nyiur

~ ZIARAH ~

Oleh Subronto Aji

serui

AKU Cinta Serui. Disingkat ACIS. Slogan yang muncul pertama kali dipertengahan tahun 1980-an ini masih terpampang pada sebuah papan disalah satu perempatan sebelah timur dari alun-alun kota. Persis dihalaman depan rumah tua yang pernah ditinggali Sam Ratulangi selama pembuangan Belanda. Sebenarnya, lebih akrab menyebutnya bukan alun-alun kota, tetapi lapangan Trikora saja, yang memang letakknya ditengah kota. Setahuku, eksistensi alun-alun lebih berasosiasi Jawa, yang mengenal tata ruang bak lingkaran konsentris : lingkaran terdalam adalah lingkaran kuasa tertinggi. Kota-kota di Papua atau barangkali peradaban Melanesia tak mengenal konsep tata wilayah seperti itu.

Sebisa mata memandang, kota Serui memiliki jalan-jalan dengan lebar yang hanya bisa dilewati satu kendaraan roda empat. Tapi, sehari-hari didalam kotanya, tak ada angkutan roda empat yang melayani mobilitas penduduk. Moda transportasi utama dalam kota adalah roda dua alias ojek. Sekali bergerak ke satu tujuan, jauh dekat membayar empat ribu rupiah. Sementara di Port Numbay (Jayapura), ibu kota Propinsi, rata-rata harga angkutan roda empat dalam kota masih tiga ribu rupiah.

Mahal ?. Bukankah disemua titik terluar dari Jakarta atau pulau Jawa, konsumsi terhadap barang dan jasa memang mahal ?.

Akan tetapi, narasi ini tidaklah tentang kritik-kritik kita terhadap lambat tumbuh kota kecil yang digerakkan oleh moda transportasi roda dua atau kritik terhadap ruang urban yang bernafas dengan harga-harga barang kebutuhan yang melambung tinggi.

Narasi ini mau bicara tentang perjumpaan kembali, ingatan, dan kesaksian.

Seminggu disini, saya tak mengunjungi banyak tempat. Saya juga tak menjumpai banyak manusia. Saya hanya melakukan napak tilas, sebuah tindakan menelisik masa lalu melalui mereka yang masih hidup dan artefak yang masih tersisa-tegak. Singkat kata, untuk melakukan tindakan kembali ke masa lalu itu, kita harus terlibat obrolan panjang dan mengunjungi lokasi tertentu. Tentu saja obrolan dimaksud bukan semesta pembicaraan yang tiada maksud persis seperti gerombolan pemabuk yang duduk bercerita. Jadi napak tilas yang saya lakukan adalah menelusuri ingatan.

Mereka, pemilik ingatan itu, merupakan generasi perantau yang datang diantara akhir 1970-an dan pertengahan 1980-an. Bisa dikata, jika tahun 1969, Papua baru melaksanakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA), maka rombongan perantau ini tak berlebihan jika digolongkan sebagai generasi awal amber (pendatang) di tanah Papua. Sebagian besar yang saya jumpai adalah guru, terutama di Sekolah Menengah Atas atau setingkat dibawahnya.

Merawat Ingatan, Menguatkan Ikatan

Guru-guru yang saya temui kini tentu sudah tergolong senior. Sebagian masih memiliki masa mengajar, sebagian lagi sudah menunggu masa pensiun. Mereka terus aktif mengajar  disekolah.

Salah satu yang hampir menjadi kesimpulan bersama para pengabdi pendidikan itu adalah karakter murid-murid sekarang, kenakalannya melebih tubuhnya. Murid nakal yang dimaksud, paling kurang, angkatan kelahiran 1990an kesini, menjadi masalah sendiri yang ‘menggelisahkan’ mereka. Beda dengan dahulu, muridnya memiliki penghormatan yang lebih besar dari kesadarannya. Agaknya, dahulu pintar soal kedua, bertata kramalah yang utama, budi pekerti mengatasi akal.

Tentu ‘murid yang nakal’ tak berdiri sendiri ibarat variabel bebas. Mengikuti logika Freirean, dengan kritik terhadap model pendidikan sistem bank (: murid layaknya rekening yang diisi duit dan berbunga), maka, pasti guru pun ikut memberi andil; guru wajib juga dikritik. Selain dialektika Guru-Murid ini, ada inter-relasi yang kompleks, semacam konteks sistemik yang lebih makroskopik, yang geraknya melampaui keberadaan system sekolah itu sendiri. Misalnya saja, ‘murid yang nakal’ tumbuh dalam kultur televisi yang mengaburkan batas antara kenyataan dan rekaan (Sinetron) dimana kenakalan adalah gaya dan pembeda diri. Karena itu, ia harus dan bisa dieksplorasi terus menerus hingga batas terekstrim.

Maka tak heran, ada seorang guru sepuh yang menyelutuk : jika dulu, diujung rotan guru terdapat ilmu, maka, kini diujung rotan guru terdapat parang sabel (parang panjang khas penduduk pulau Biak).

Walau begitu, sekalipun diujung rotan telah tersedia parang sabel, mereka tak berhenti mengajar. Mengajar adalah praktik menyusun pengetahuan dalam ruang yang dihidupi bersama. Mendidik adalah usaha bersama membentuk identitas individual yang bersandar pada tata moral yang dikehendaki. Maka menjadi guru adalah menjalani sesuatu yang mengerjakan dua hal itu sekaligus. Sebab itu, sungguh mulia; guru adalah identitas, tak terbatas pada profesi formal.

Berangkat dari gambaran diatas, turunan pertanyaan yang sifatnya strategis bisa seperti ini : jika para guru sepuh, dengan masa mengabdi puluhan tahun, yang kini menunggu pensiun itu mengeluhkan eksistensi generasi murid yang sekarang, bagaimanakah kondisi psikolog guru-guru muda yang baru ditasbihkan bergelar SPd itu ?. Waktu dan praktiklah yang akan menuntun mereka.

Lalu, yang juga penting dari perjumpaan dengan mereka adalah isi obrolan yang berfokus pada pelacakan keberadaan atas orang-orang sezaman, yang komen pun amber (pribumi atau pendatang). Dalam praktiknya, salah satu diantara mereka akan menyebut nama dan yang lain mengkonfrontir fakta terkininya. Secara verbal seperti ini : ‘‘pak A sudah dimana ?. Masih hidup ?’’. Jawab yang lain : “Oh iya, masih hidup, tetapi sudah jarang ketemu”. Begitu seterusnya hingga menyentuh ‘hal-hal terdalam dan termutakhir’ dari orang dimaksud.

Anda mungkin berfikir mereka sedang menggosipkan orang. Saya kira tidak, apalagi menyebut kata gossip dengan maksud-maksud ‘setajam Silet’. Mereka hanya sedang mericek orang-orang sezaman yang pernah bergulat bersama, memupuk harapan bersama ditanah perantauan, dan lalu terpisah oleh perjalanan waktu dan patah tumbuh generasi. Dengan begitu, menurut saya, mereka tak akan pernah kehilangan masa lalu, kehilangan ingatan, dan, kehilangan ikatan.

Dengan melakukan pelacakan demikian, mereka yang berpartisipasi dalam obrolan itu seperti hendak bercermin diri pada sejarah mereka sendiri. Melalui percakapan atas orang-orang sezaman, mereka menjumpai dirinya dan masyarakatnya, melukiskan kedatangan dan kepergian manusia, merisaukan generasi dan zaman yang berubah. Hingga akhirnya pembicaraan itu berhenti, karena berganti topik atau sudah dirasakan cukup.

Ingatan dan pelacakan atas orang-orang sezaman itu sedikit banyak kembali menguatkan ikatan psiko-sosial yang sempat longgar karena jarak geografi dan komunikasi. Perjumpaan lintas budaya yang dahulu terpelihara diantara komen dan amber dimana itu jauh melampaui batas-batas politik dari kepentingan politik direkatkan kembali dalam momen ngobrol. Penguatan ini sungguh positif ditengah atmosfir tanah Papua yang terus menerus menjadi panggung dari horror dan teror, yang menyusun segmentasi dan mengentalkan eklusifisme primordial.

Mereka, para guru senior itu, gelisah terhadap generasi yang meminggirkan budi pekerti melebihi rasa gelisahnya melihat perkembangan politik yang sarat horor dan teror. Sejatinya, Guru memang selalu gelisah melihat pasang surut perkembangan muridnya.

Sampai Jumpa

Di pulau Yapen atau kota Serui, disebuah titik dari gugus utara dari Pulau Papua, guru-guru yang mulai menanjak sepuh ini mengajarkan hal penting. Bahwa pengabdian yang panjang akan membuat kesaksian terhadap zaman menjadi milik terpelihara yang berbeda, karena itu menjadi berharga.

Melalui ingatan dan kesaksian, mereka meneguhkan ikatan. Serui : small is beautiful !!. Terimakasih.